Budaya

Menilik Sekelumit Budaya Jawa di Radya Pustaka

Posted on June 20, 2011. Filed under: Budaya |

Saat memasuki halamannya, patung pujangga dari keraton Surakarta, Ronggowarsito. Lebih dalam lagi masuk ke areanya, ada seorang petugas yang menyambut dengan senyuman. “Dua ribu lima ratus satu orang,” kata petugas penjaga loket sambil menyerahkan selembar tiket. “Kalau mau ambil foto ada biaya tambahan,” Lanjutnya.

Museum Radya Pustaka

Radya Pustaka, museum tertua di Indonesia yang terletak di Kota Solo. Foto: http://www.moreindonesia.com

Museum Radya Pustaka, yang terletak di Jalan Slamet Riyadi 275, saat itu sepi pengunjung. Hanya terlihat tiga orang, sepang muda-mudi dan seorang lelaki asing setengah baya, keluar dari museum karena telah selesai melihat koleksi Museum Radya Pustaka, siang itu.
Sebelum menempati lokasiya yang sekarang, Museum Radya Pustaka berada di salah satu ruang di kediaman KRA Sosrodiningrat IV di Kepatihan. Pada 1 Januari 1913, museum ini lalu dipindahkan ke lokasinya sekarang ini, Gedung Museum Radya Pustaka. Saat itu gedung museum merupakan rumah kediaman seorang warga Belanda bernama Johannes Busselaar (more…)

Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

TARI BOYONG PKL BUKA KAMPUNG ART FESTIVAL 2011

Posted on June 18, 2011. Filed under: Budaya |

 

Pembukaan Kampung Art Festival 2011 yang akan diselenggarakan Kamis-Minggu (16-19/6) akan diisi dengan Tari Boyong PKL. Tari tersebut terinspirasi kesuksesan Walikota Solo Joko Widodo dan Wakil Walikota FX Hadi Rudyatmo yang berhasil memindahkan 989 Pedagang Kaki Lima (PKL) yang sebelumnya berjualan di sekitar Monumen ’45 Banjarsari (Monjari) ke kawasan Semanggi. Tari ini dikemas secara teatrikal dengan melibatkan 50 personel dari berbagai elemen masyarakat seperti penari, pemain teater, anggota Paguyuban Putra Putri Solo (PPS) hingga pedagang yang menjadi ihwal penciptaan tari tersebut. “Dalam pertunjukan yang berdurasi 45 menit ini nanti, para penari akan menggunakan berbagai barang-barang bekas. Barang bekas ini mengingatkan bahwa dulunya di sekitar monumen ini penuh dengan para pedagang barang bekas. Selain itu juga akan tampil para waria yang dulu menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kawasanini” ujar ketua panitia Solo Kampung Art, Hanindawan, kepada sejumlah wartawan di Monumen 45, Banjarsari, Selasa (14/6). Selain pentas seni, Kampung Art Festival 2011 juga diisi dengan bazar yang menampilkan potensi dari kampung atau kelurahan yang ada di Solo. Kegiatan ini digelar di Monumen 45, Banjarsari mulai pukul 15.00-22.00 WIB. “Acara yang mengambil tema Warna-warni Kampungku ini juga akan dimeriahkan dengan pertunjukan karawitan, ketoprak humor, tari-tarian, hadrah, seni karawitan, wayang kulit serta wayang orang. Kami berusaha untuk mengakomodasi semua keberagaman yang dimiliki masing-masing kelurahan di Kota Solo,” lanjutnya. Pemilihan Monumen 45,Banjarsari dinilai sangat tepat karena diapit oleh empat jalan besar yang di tengahnya sering dijadikan sebagai tempat berkumpul. “Mengapa kami memilih Banjarsari karena pertama kali peristiwa boyong PKL berasal dari sini. Dan Monumen ini juga merupakan ruang publik yang inti, nyaman, serta digunakan sebagai ruang pertemuan Kota Solo,” jelas Hanindawan.

AMN (D0207004)

Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

Seribu Kisah Mistis Dibalik Keelokan Rawa Pening

Posted on June 14, 2011. Filed under: Budaya |

Ambarawa (13/06)-Menikmati lembayung senja di Rawa Pening memang membuat betah siapa saja. Namun siapa sangka di balik keelokannya tersebut rawa yang dipenuhi tumbuhan enceng gondok itu memiliki seribu kisah mistis yang di percaya warga sekitar dan cerita sejarah yang diwariskan turun temurun.

Muslimin (47) salah seorang tokoh masyarakat sekitar yang tinggal di kawasan Rawa Pening mengatakan bahwa Rawa yang terletak di antara kota Ambarawa dan salatiga ini dulunya dipercaya adalah sebuah desa bernama Malwapati. “Rawa Pening itu dulunya adalah desa Malwapati yang terendam air luapan dari lidi yang ditancapkan oleh Baru Klinting” ujar Muslimin yang juga seorang paranormal.

Menurut cerita yang diturunkan Kakeknya kepadanya, Baru Klinting adalah seekor ular yang dilahirkan oleh seorang wanita. Wanita tersebut adalah istri dari Ki Ajar Salokontoro, seorang sakti dari Desa Malwapati. Tapi Ki Ajar sendiri tak mau mengakui anaknya tersebut karena berupa ular.

Setelah tujuh tahun ular tersebut tumbuh menjadi besar dan ingin mencari pengakuan dari ayahnya bahwa ia adalah anaknya. Sang ayah memberikan syarat kepada Baru Klinting jika ingin diakui ayahnya. Syaratnya adalah melingkari Gunung Kelengker dengan tubuhnya.Kemudian Baru Klinting bertapa agar ia bisa memenuhi persyaratan ayahnya.

Suatu hari warga desa Malwapati ingin mengadakan hajatan besar. Para pria berbondong-bondong mencari hewan buruan di hutan untuk dimasak. Ketika mereka sedang beristirahat, tak sengaja salah seorang dari mereka menancapkan parangnya ke akar pohon. Namun kemudian mereka tersadar bahwa akar tersebut adalah ular raksasa setelah parang yang mereka tancapkan mengeluarkan darah. Warga beramai-ramai memotong-motong daging ular tersebut yang tak lain adalah Baru Klinting yang sedang bertapa.

Setelah pertapaannya Baru Klinting berubah wujud menjadi bocah. Ia berjalan menuju desa untuk mencari makanan. Namun warga desa Malwapati mengusirnya karena tubuhnya yang penuh luka dan bau. Kemudian Baru Klinting mendatangi seorang nenek tua bernama Nyi Lebah yang mau memberinya makan. Baru Klinting berpesan kepada Nyi Lebah supaya berlindung di lumpangnya ketika nanti terjadi banjir. Kemudian Baru Klinting pergi.

Baru Klinting pun kembali ke desa Malwapati dan membuat sebuah sayembara mencabut lidi bagi warga desa Malwapati. Namun karena tak ada yang bisa mencabut, akhirnya Baru Kilnting sendirilah yang mencabutnya. Dari cabutan lidinya itu keluarlah air yang sangat deras sehingga menggenangi desa tersebut. Dan Baru Klinting dipercaya masih hidup sebagai seekor ular penjaga Rawa Pening.

Tak sedikit warga sekitar rawa yang mengaku pernah melihat ular raksasa, yang dipercaya sebagai Baru Klinting. “Waktu saya mencari ikan malam hari di rawa, saya sangat kaget ketika melihat ular berwarna keemasan yang hampir sebesar  ban mobil,” ungkap Rohani (37) seorang pencari ikan di sekitar rawa. Selain Rohani, ada juga Udin (28) yang juga pernah mengalami hal serupa, “Waktu saya pulang kerja sekitar jam 11 malam, saya melihat ular sebesar pohon kelapa melata di pinggir jalan,” ujarnya.

Kisah mistis legenda Rawa Pening masih dipercaya warga sekitar hingga kini. Ular besar yang sering dilihat warga dipercaya sebagai jelmaan si Baru Klinting. Untuk menghormati legenda tersebut, warga sekitar masih rutin menggelar acara ritual larung sesaji setiap setahun sekali. RN-(D0207024)

Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

Liked it here?
Why not try sites on the blogroll...